Jumat, 04 Oktober 2013 di 04.15 Diposting oleh Unknown 0 Comments


Ringkasan
Pada postingan tentang anime sepakbola sebelumya yang membahas SHOOT!, aku hanya memuji versi manganya saja. Versi anime Aoki Densetsu Shoot! menurutku tak bisa menjejeri kualitas manganya yang lebih keren. Tapi untuk kasus Giant Killing, anime yang dibuat Studio DEEN berdasarkan manga karya Masaya Tsunamoto ini berhasil menerjemahkan energi yang berlimpah dari versi manganya. Walaupun masih bertema olah raga yang paling digemari seluruh dunia, Giant Killing menjadi menarik karena tidak menampilkan tokoh utama pemain sepakbola melainkan seorang manajer klub.
East Tokyo United (ETU) adalah sebuah klub kecil dengan dana pas-pasan dalam kompetisi J-League divisi 1. Setelah sempat terdegradasi dan promosi kembali, akhirnya bisa bertahan juga di papan bawah divisi 1. ETU telah berulang kali berganti manajer mengacu pada prestasi yang buruk, hingga akhirnya mereka merekrut seorang manajer muda mantan pemain mereka dimasa lalu bernama Takeshi Tatsumi (35 tahun). Tatsumi sebelumnya memimpin klub divisi 5 liga Inggris dan berhasil membawa tim ecek-ecek mereka ke babak empat piala FA dengan mengalahkan beberapa klub besar asal divisi utama. Dengan reputasi sebagai si pembunuh raksasa, Tatsumi direkrut untuk memulihkan reputasi klub yang sudah porak poranda. Tanpa disediakan dana untuk merekrut pemain baru yang berkualitas, Tatsumi diharapkan memanfaatkan pemain ETU yang ada untuk dapat bertahan di divisi 1.
Kedatangan Tatsumi di ETU tak disambut semua pihak dengan tangan terbuka, malah Tatsumi terlihat menebar konflik didalam klub. Ada kapten tim Murakoshi yang tetap setia pada ETU baik saat degradasi maupun promosi, tapi dicopot ban kaptennya oleh sang manajer baru. Ada pula para pemain yang merasa metoda pelatihan Tatsumi terlalu aneh untuk tim profesional dan menentang program latihan Tatsumi. Belum lagi supporter ETU yang menganggap Tatsumi sebagai pengkhianat ketika sebagai pemain, Tatsumi memutuskan pindah ke klub luar negeri dan meninggalkan ETU. Dilain pihak, Tatsumi malah menaikkan pangkat beberapa pemain cadangan menjadi pemain inti, sehingga menimbulkan bentrok antar pemain. Dengan gayanya yang eksentrik dan taktik permainan yang inkonvensional dan non ortodoks, bisakah Tatsumi membawa posisi ETU bangkit dari zona degradasi?
Pujian utamaku adalah untuk scene permainan sepakbola yang terasa lebih realistis dibanding anime SHOOT!, Captain Tsubasa, Whistle, maupun anime sejenis. Pergerakan pemain hingga dribble bola terlihat lebih mulus dibandingkan anime sepak bola lainnya. Sepertinya pihak Studio DEEN menggunakan gabungan antara animasi biasa dan CGI dengan cukup pas. Selain itu juga penggambaran teknik dan pertandingan maupun penggambaran tokoh tak terlihat berlebihan karena memang setting cerita berada pada liga profesional J-League. Tak ada jurus-jurus tendangan maut yang aneh-aneh kayak tendangan macan-nya Kojiro Hyuga, permainan lebih ditentukan oleh perang taktik antar manajer tim. Selain itu juga tokoh orang-orang asing seperti Brazil, Belanda dan Perancis dibiarkan berbicara dengan bahasa mereka masing-masing dengan memberikan subtitle bahasa Jepang.
Pujian keduaku adalah cerita dibawakan tidak hanya berdasarkan satu pola pandang saja. Biasanya anime sepakbola hanya terfokus pada tokoh pemain sepakbola saja. Giant Killing membagi sisi pandang cerita lewat manajer sebagai tokoh utama, pihak manajemen ETU, pemain sepakbola, wartawan, hingga supporter klub, sehingga kadang hal ini membuat penonton ikut terseret masuk ke dalam cerita (tentunya sebagai pengamat ataupun penonton). Selain itu juga hasil pertandingan lebih realistis untuk klub ecek-ecek semacam ETU. Hasil pertandingan kalah-menang-seri adalah hal yang logis, apalagi diawal-awal musim baru bergulir sangatlah wajar tim inferior yang baru ganti manajer kayak ETU lebih sering kalah dibandingkan menang ataupun seri.
Tadinya aku mengharapkan banyak kisah drama dibelakang hiruk pikuk kisah pertandingan, nyatanya anime ini sangat terfokus pada tim ETU sendiri maupun lawannya, baik saat latihan maupun pertandingan. Aspek drama tokoh cerita dan latar belakang para tokoh tak terlalu dibahas disini, bahkan pengembangan karakter lebih diperlihatkan selama latihan dan pertandingan. Ini memang terlihat sebagai suatu kelemahan, tapi kalau dipikir-pikir justru menampilkan betapa berbedanya Giant Killing dibanding anime sepakbola lainnya yang terlihat stereotip gaya berceritanya. Giant Killing benar-benar lebih fokus pada cerita sepak bola dibandingkan memberikan ruang berlebih pada cerita drama sampingan.
Selain tokoh utama sang manajer Tatsumi, tak ada satu tokoh pemain sepak bola yang diberikan porsi cerita lebih banyak. Memang ada tokoh Tsubaki sang rookie cadangan yang terlihat sedikit menonjol, tapi tetap saja bukan dia yang menjadi fokus utama, karena peran pemain dalam cerita terbagi rata. Selain itu juga aku suka penggambaran persaingan profesional antara pemain rookie yang ingin menjadi pemain inti dan pemain senior yang ingin tetap bermain regular.
Kalau anda suka anime sepakbola yang agak berbeda pembawaan ceritanya, Giant Killing adalah anime yang membawa angin segar dengan style yang lumayan unik. Dipadu dengan animasi permainan bola yang enak ditonton, anime ini sangat cocok ditonton oleh para penggemar sepakbola dan game semacam Championship Manager. 
NB.
Karena cerita manga-nya sendiri masih terus berlanjut, serial anime mengakhiri cerita hingga pesta makan kare. Sedangkan pertandingan bigmatch yang mengakhiri cerita adalah pertandingan ETU melawan klub kuat Osaka Gunners yang belum pernah kalah sejak awal musim. Yang menarik disini adalah penggambaran pentandingan yang mirip dengan semifinal Liga Champion 20 April 2010 antara Inter Milan melawan Barcelona. Osaka Gunners digambarkan mirip Barcelona dengan permainan indah dan menyerang. Tak perduli dengan lawannya siapa, Barcelona tetap saja memperagakan permainan ofensif dan atraktif sesuai dengan filosofi mereka. ETU dibawah Tatsumi benar-benar representasi Inter Milan dibawah Mourinho. ETU bermain efektif dan taktik permainan mereka di lapangan tergantung situasi dan siapa yang menjadi lawan.



0 Responses so far.